SYNOPSIS
Cannon Hill Park, Birmingham. Kali Pertama aku bertemu dengannya.
El Kim. Cowok Korea satu ini kaku, nggak banyak bicara, dan dingin. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang menarikku untuk mendekat. Mungkin karena latar belakang yang sama, tentang masa lalu kami.
Aku terus berusaha mendekatinya, meski dia tak menghiraukanku. Meski orang-orang menganggapnya aneh. Aku yakin, El nggak seperti yang mereka pikirkan. Jujur saja, aku kebingungan saat Julian, sahabat baikku, sangat membencinya. Seperti ada dendam yang belum terbalaskan. Kejadian sebelum aku mengenal mereka mungkin?
Aku merasa harus menyelesaikan masalah yang disembunyikan Julian dan El. Sebelum segalanya terlambat.
Cannon Hill Park, Birmingham. Kali Pertama aku bertemu dengannya.
El Kim. Cowok Korea satu ini kaku, nggak banyak bicara, dan dingin. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang menarikku untuk mendekat. Mungkin karena latar belakang yang sama, tentang masa lalu kami.
Aku terus berusaha mendekatinya, meski dia tak menghiraukanku. Meski orang-orang menganggapnya aneh. Aku yakin, El nggak seperti yang mereka pikirkan. Jujur saja, aku kebingungan saat Julian, sahabat baikku, sangat membencinya. Seperti ada dendam yang belum terbalaskan. Kejadian sebelum aku mengenal mereka mungkin?
Aku merasa harus menyelesaikan masalah yang disembunyikan Julian dan El. Sebelum segalanya terlambat.
Memelihara artinya menjaga. Kupikir dengan belajar menjaga apa yang ada maka itu tak akan kehilangan lagi.
- Aleyna -
REVIEW
Saya beli buku ini tanpa tahu apa-apa soal cerita atau penulisnya. Waktu itu lagi di book fair dan buku ini dapet diskon sekian % jadi asal beli aja XD Ternyata Song of The Wind bersetting di Birmingham dengan 2 tokoh cowok yang ga ada Indonesia-Indonesianya sama sekali. Well saat saya kepingin baca buku lokal sebenernya saya mengharapkan buku bersetting Indonesia dan dan tokoh-tokoh lokal, tapi ternyata buku ini serba luar negri.
Saat baca buku ini saya melakukan research sedikit tentang trend untuk teenlit jaman sekarang. Ternyata selain meliputi setting luar negri, mesti ada cowok Korea lalu lalang. Muncul El Kim, cowok Korea super galau yang dibayangi rasa bersalah di masa lalu. Saya suka dengan perkembangan karakter El, meskipun di akhir-akhir rasa bersalahnya seperti disulap pergi. Meski begitu menurut saya Aiu berhasil menciptakan karakter cowok Korea dengan baik.
Di lain pihak, Julian yang katanya asli Birmingham, sangat berasa kaya cowok-cowok biasa di negara kita ini. Saat mulai nulis review ini, saya baru ingat dia itu orang barat, sepanjang buku saya ingatnya dia orang Indonesia. Cowok ini emosian sepanjang El menampakan diri, baik dengan bentakan atau lirikan maut. Nasibnya kurang baik sebagai korban friendzone, padahal El yang merasa bersalah atas segala yang terjadi, tapi kayaknya Julian yang selalu disalahkan sama yang lain karena dia benci El. Padahal, coba renungkan nasibnya. Sama buruknya kayak El, tapi hanya karena dia ga emo dan menyendiri bukan berarti dia baik-baik saja. Tidak sampai di situ nasib jelek Julian, perkembangan karakter ini juga jelek. Setelah sekian lama memendam benci, penyelesaiannya cuma dengan beberapa petuah lalu mendadak dia berubah drastis, segalanya begitu indah, semua orang adalah teman. Aneh. Saya melalui beberapa WTH momen terhadap perkembangan Julian ini.
Aleyna sendiri biasa saja, saya bingung hal menarik tentangnya yang bisa saya bagi. Karakternya tidak dikembangkan lebih jauh. Kisah kelam masa lalunya juga cuma biar samaan kayak El mungkin.
Settingnya sendiri? Saya ga merasa ada di Birmingham sama sekali. Settingnya hanya sekedar menyebut nama tempat, nggak ada detail unik sama sekali soal tempatnya. Penjelasannya yang diberikan hanya secara umum, kampusnya juga sama aja kayak mereka kuliah di sini. Entah authornya pernah ke Birmingham atau sekedar nekat aja karena pingin setting luar negri. Bahkan unsur makanan yang bagi saya punya daya tarik hebat untuk setting luar malah disebut seadanya, seperti minuman kesukaan Aleyna di suatu restoran yang hanya disebut 'latte', entah kaya apa rasanya dan apa yang membedakan dari latte lokal. Saya benar-benar seperti berada di Indonesia yang ditambah salju.
Untungnya bahasanya ga nyampur indo-inggris jadi konsisten. Cuma ada bagian bahasa inggris yang ikut campur di lirik lagu dan grammarnya salah. El harus banyak belajar lagi.
Ceritanya sendiri sebenarnya enak dinikmati. Lumayan lelet dan lebih banyak menceritakan ketimbang dialog sehingga menghabiskan 2 minggu untuk 250 halaman ini, tapi adegan antara El dan Aleyna menyenangkan untuk diikuti dan saya senang karena ga ada insta-love di sini. Yang paling disayangkan adalah penyelesaian masalahnya, berasa mendadak dan gak masuk akal.
Saya beli buku ini tanpa tahu apa-apa soal cerita atau penulisnya. Waktu itu lagi di book fair dan buku ini dapet diskon sekian % jadi asal beli aja XD Ternyata Song of The Wind bersetting di Birmingham dengan 2 tokoh cowok yang ga ada Indonesia-Indonesianya sama sekali. Well saat saya kepingin baca buku lokal sebenernya saya mengharapkan buku bersetting Indonesia dan dan tokoh-tokoh lokal, tapi ternyata buku ini serba luar negri.
Saat baca buku ini saya melakukan research sedikit tentang trend untuk teenlit jaman sekarang. Ternyata selain meliputi setting luar negri, mesti ada cowok Korea lalu lalang. Muncul El Kim, cowok Korea super galau yang dibayangi rasa bersalah di masa lalu. Saya suka dengan perkembangan karakter El, meskipun di akhir-akhir rasa bersalahnya seperti disulap pergi. Meski begitu menurut saya Aiu berhasil menciptakan karakter cowok Korea dengan baik.
Di lain pihak, Julian yang katanya asli Birmingham, sangat berasa kaya cowok-cowok biasa di negara kita ini. Saat mulai nulis review ini, saya baru ingat dia itu orang barat, sepanjang buku saya ingatnya dia orang Indonesia. Cowok ini emosian sepanjang El menampakan diri, baik dengan bentakan atau lirikan maut. Nasibnya kurang baik sebagai korban friendzone, padahal El yang merasa bersalah atas segala yang terjadi, tapi kayaknya Julian yang selalu disalahkan sama yang lain karena dia benci El. Padahal, coba renungkan nasibnya. Sama buruknya kayak El, tapi hanya karena dia ga emo dan menyendiri bukan berarti dia baik-baik saja. Tidak sampai di situ nasib jelek Julian, perkembangan karakter ini juga jelek. Setelah sekian lama memendam benci, penyelesaiannya cuma dengan beberapa petuah lalu mendadak dia berubah drastis, segalanya begitu indah, semua orang adalah teman. Aneh. Saya melalui beberapa WTH momen terhadap perkembangan Julian ini.
Aleyna sendiri biasa saja, saya bingung hal menarik tentangnya yang bisa saya bagi. Karakternya tidak dikembangkan lebih jauh. Kisah kelam masa lalunya juga cuma biar samaan kayak El mungkin.
Settingnya sendiri? Saya ga merasa ada di Birmingham sama sekali. Settingnya hanya sekedar menyebut nama tempat, nggak ada detail unik sama sekali soal tempatnya. Penjelasannya yang diberikan hanya secara umum, kampusnya juga sama aja kayak mereka kuliah di sini. Entah authornya pernah ke Birmingham atau sekedar nekat aja karena pingin setting luar negri. Bahkan unsur makanan yang bagi saya punya daya tarik hebat untuk setting luar malah disebut seadanya, seperti minuman kesukaan Aleyna di suatu restoran yang hanya disebut 'latte', entah kaya apa rasanya dan apa yang membedakan dari latte lokal. Saya benar-benar seperti berada di Indonesia yang ditambah salju.
Untungnya bahasanya ga nyampur indo-inggris jadi konsisten. Cuma ada bagian bahasa inggris yang ikut campur di lirik lagu dan grammarnya salah. El harus banyak belajar lagi.
Ceritanya sendiri sebenarnya enak dinikmati. Lumayan lelet dan lebih banyak menceritakan ketimbang dialog sehingga menghabiskan 2 minggu untuk 250 halaman ini, tapi adegan antara El dan Aleyna menyenangkan untuk diikuti dan saya senang karena ga ada insta-love di sini. Yang paling disayangkan adalah penyelesaian masalahnya, berasa mendadak dan gak masuk akal.
Beberapa bagian enak dinikmati, sayangnya suasana Birmingham sama sekali tidak terasa. Bagian awal terlalu lama, sedangkan menjelang akhir semua uda kaya balapan.